Saturday 11 February 2017

Forex Dari Hukum Islam

Écrit par jaenal nurohman sur Minggu, 10 Juni 2012 19.27 Investasi FOREX trading merupakan investiasi yang sangat menjanjikan dimana kita bisa memperoleh bénéfice yang cukup lumayan dalam waktu yang relatif singkat. lama dan tanpa Harus memahami analisa de teknikalmaupun de Apalagi dengan kehadiran Broker forex en ligne yaitu Instaforex yang jasa memberikan signal de forex di internet, Semakin memudahkan setiap Orang untuk mendulang profit di bisnis ini bahkan tanpa Harus melewati upaya belajar yang kepala fondamentale yang memusingkan. Penghasilan par trader-trader forex professionnel sanglant par jauh meninggalkan par pelaku-pelaku bisnis lainnya seperti par pelaku bisnis MLM dan perdagangan konvensional. Tapi kemudian banyak yang mempertanyakan kehalalan dari hasil yang diperoleh bisnis forex trading ini dikarenakan sifatnya yang abstraite dan tidak kasat mata. Sebagian umat Islam meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan pour pakar Islam Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, 8221 sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih islam soudan suk memenuhi tuntutan jaman etang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali dans le berpendapat, bahwa tidak bénar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur8217an, sunnah maupun fatwa pour sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat, larangan, menjual, barang, yang, belum, ada, sebagaimana, larangan, barbar, yang sudah, ada, pada, waktu, akad. 8220Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, 8221 ujar Dr. Syamsul Anwar. MA dari IAIN Suka Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang et diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milang orang lain, padahal tidak dibérien kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada képastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan képada pembéli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi 8211 karena satu dan lain hal 8212 tidak mungkin, diserahkan, kepada, pembeli, maka jual beli itu tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis et komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan 8212 satu hal yang sebetulnya bise juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum L'islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa8217il almu8217ashirah atau masala-masala hukum Islam kontemporer. Karena itu, statut hukumnya dapat dikategorikan képada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masala hukum yang tidak mempunyai référensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa8217I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentouk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mésti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat mérujuk kepada teori perubahan hukum et yang diperkenalkan Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah, karena drinka variable perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan de paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a8217yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran idée d'atau alam. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum L'islam tenteang keadilan yang dalam Le Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masala PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum islam dalam pengertian bagaimana hukum islam diterapkan dalam masala kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam ère globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdangangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU n ° 321977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay8217 al-salam8217ajl bi8217ajil. Bay8217 al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah baie8217 ajl bi8217ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikien, penyerahan ra8217s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi8217iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: 8220Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad8221. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut. Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristia transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay8217 al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi (8216aqid) yang disebut dengan istilah musulmane atau musulman ilaih. Objek transaksi (ma8217qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka et harga tukar (al-salam al-al-salam al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat 8216aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi8217iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa 8216aqd al-salam adalah bay8217 al-ma8217dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (acheter). Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transakis harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (un yakun fi jinsin ma8217lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, roupie atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah roupie, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogramme, étang, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-8217aqd aliasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan d'antara pelaku transaksi, le yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya et dabat memberkan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau maximal juridique yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semouanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, le boleh de hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan Semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay8217 al-salam. Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar négar terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu négar dengan negara lainnya ini berubah (berluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAIS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Le Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melakaanan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Barang sudah berada ditanganya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itou diperbolehkan dalam agama. 8220Jangan kamu membeli ikan dalam l'air, karena sesungguhnya jual beli yang démikien itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas8217ud) Jual beli barang yang tidak de tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudien jika barang sesuai dengan keterangan pénjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunya hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurayra: 8220Barang Siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak Khiyar jika ia Telah melihatnya8221. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semu hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum L'islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, GPL, dan sebagainya, asalkam diberi étiquette yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum L'islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al-Ashbah al-Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55.Forex menurut Hukum Islam Banyak perbédan pendapat tentang forex itu sendiri, ada yang mengatakan tidak boleh, tetapi ada juga yang mengatakan boleh. Dibawah ini adalah pendapat yang membolehkan dari beberapa sumber tentang forex itui sendiri (sedang untuk yang tidak membolehkan forex itui sendiri, silahkan search di Google). Fit4global. wordpress hanya membre wacana, dan hanya fokus ke riset ilmiah tentang pergerakan forex. Fit4global. wordpress memang didedikasikan untuk meriset secara logika dan ilmiah tentang pergerakan forex baik teknikal maupun fondamental. Sebagian umat Islam ada etang meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan pour pakar Islam Apa pendapat pour ulama mengenai trading forex, trading saham, indice de négoce, saham, dan komoditi Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam Mari kita ikuti selengkapnya. Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamou, sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih islam soudan suk memenuhi tuntutan jaman etang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali dans le berpendapat, bahwa tidak bénar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Quran, sunnah maupun fatwa pour sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat, larangan, menjual, barang, yang, belum, ada, sebagaimana, larangan, barbar, yang sudah, ada, pada, waktu, akad. Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN Suka Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang et diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milang orang lain, padahal tidak dibérien kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada képastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan képada pembéli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya, sudah, ada, tapi, karena, satu, lain, hal, tidak, mungkin, diserahkan, kepada, pembeli, maka jual, beli, itu, tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis et komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasail almuashirah atau masala-masala hukum Islam kontemporer. Karena itu, statut hukumnya dapat dikategorikan képada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masala hukum yang tidak mempunyai référensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masala hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqaI la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentouk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mésti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat mérujuk kepada teori perubahan hukum et yang diperkenalkan Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah, karena drinka variable perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma Ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiya, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-ayan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran idée d'atau alam. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum L'islam tenteang keadilan yang dalam Le Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masala PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum islam dalam pengertian bagaimana hukum islam diterapkan dalam masala kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam ère globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdangangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU n ° 321977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan baie al-salamajl biajil. Baie al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf baie d'adalah ajl biajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikien, penyerahan ras al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad. (Aqid): kakabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun de syarat sebagai berikut: a) Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi Yang, disebut, dengan, istilah, musulman, atau, musulman, ilaih. Objek transaksi (maqud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka et harga tukar (ras al-mal al-salam al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat aqad), yaitu ijab dan kaboul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena uit, ulama Syafiiyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi uit, dengan Alasan bahwa aqd al-salam adalah baie al-Madum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (acheter). Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (un yakun fi jinsin malumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, roupie atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah roupie, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogramme, étang, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dânga maksud menghilangkan jahalah fi al-aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan d'antara pelaku transaksi, le yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya et dabat memberkan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau maximal juridique yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semouanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertiru boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan baie de kepada al-salam. 1. Les contrats d'échange de base Il existe un consensus général entre les juristes islamiques sur le fait que les devises des différents pays peuvent être échangées sur une base spot à un taux différent de l'unité puisque les monnaies de différents pays sont des entités distinctes avec des valeurs différentes ou une valeur intrinsèque , Et le pouvoir d'achat. Il semble également y avoir un accord général entre la majorité des universitaires selon lequel les échanges de devises à terme ne sont pas autorisés, c'est-à-dire lorsque les droits et obligations des deux parties concernent une date ultérieure. Toutefois, les juristes divergent considérablement lorsque les droits de l'une ou l'autre des parties, qui sont les mêmes que les obligations de la contrepartie, sont reportés à une date ultérieure. Pour élaborer, considérons l'exemple de deux individus A et B appartenant à deux pays différents, l'Inde et les États-Unis respectivement. A a l'intention de vendre des roupies indiennes et d'acheter des dollars américains. L'inverse est vrai pour B. Le taux de change roupie-dollar convenu est de 1:20 et la transaction implique l'achat et la vente de 50. La première situation est que A effectue un paiement au comptant de Rs1000 à B et accepte le paiement de 50 de B. La transaction est réglée sur une base ponctuelle des deux extrémités. Ces transactions sont valables et Islamiquement permises. Il n'y a pas deux opinions à peu près identiques. La deuxième possibilité est que le règlement de la transaction des deux extrémités est reporté à une date future, disons après six mois à partir de maintenant. Cela implique que A et B fassent et acceptent le paiement de Rs1000 ou 50, selon le cas, après six mois. Le point de vue prédominant est qu'un tel contrat n'est pas permissible sur le plan islamique. Une opinion minoritaire le juge admissible. Le troisième scénario est que la transaction est partiellement réglée à partir d'une extrémité seulement. Par exemple, A fait un paiement de Rs1000 maintenant à B en lieu et place d'une promesse par B de lui payer 50 après six mois. Alternativement, A accepte 50 maintenant de B et promet de lui payer Rs1000 après six mois. Il existe des vues diamétralement opposées sur la licéité de ces contrats qui s'élèvent à bai-salam en devises. Le but de cet article est de présenter une analyse complète des différents arguments à l'appui et contre la permissibilité de ces contrats de base impliquant des devises. La première forme de contrat impliquant l'échange de contre-valeurs sur une base spot est au-delà de toute sorte de controverse. La recevabilité ou non du second type de contrat dans lequel la livraison de l'une des contre-valeurs est reportée à une date ultérieure est généralement discutée dans le cadre de l'interdiction. Par conséquent, nous discuterons en détail de ce contrat à la section 2 traitant de la question de l'interdiction de l'riba. La recevabilité de la troisième forme de contrat dans laquelle la livraison des deux contre-valeurs est reportée est généralement discutée dans le cadre de la réduction du risque et de l'incertitude ou du gharar impliqués dans ces contrats. C'est donc le thème central de la section 3 qui traite de la question du gharar. Section 4 tentatives d'une vue holistique de la charia relie les questions comme aussi l'importance économique des formes de base de la passation de contrats sur le marché des devises. 2. La question de la prohibition de Riba La divergence des points de vue1 sur la licéité ou non des contrats de change en monnaies peut être attribuée principalement à la question de l'interdiction. La nécessité d'éliminer l'riba dans toutes les formes de contrats d'échange est d'une importance capitale. Riba dans son contexte charia est généralement défini2 comme un gain illicite dérivé de l'inégalité quantitative des contre-valeurs dans toute transaction censée effectuer l'échange de deux ou plusieurs espèces (anwa) appartenant au même genre (jins) et régies par La même cause efficace (illa). Riba est généralement classé dans riba al-fadl (excès) et riba al-nasia (report), qui indiquent un avantage illégal par voie d'excès ou de report, respectivement. L'interdiction de la première est obtenue par une stipulation que le taux d'échange entre les objets est l'unité et aucun gain n'est permise à l'une ou l'autre partie. Ce dernier type d'riba est interdit en interdisant le règlement différé et en veillant à ce que l'opération soit réglée sur place par les deux parties. Une autre forme d'riba est appelée riba al-jahiliyya ou riba pré-islamique qui survient lorsque le prêteur demande à l'emprunteur à la date d'échéance si ce dernier règle la dette ou l'augmente. L'augmentation est accompagnée de la tarification des intérêts sur le montant initialement emprunté. L'interdiction de riba dans l'échange de monnaies appartenant à différents pays nécessite un processus d'analogie (qiyas). Et dans un tel exercice impliquant l'analogie (qiyas), la cause efficace (illa) joue un rôle extrêmement important. C'est une cause efficace commune (illa), qui relie l'objet de l'analogie à son sujet, dans l'exercice du raisonnement analogique. La cause efficace appropriée (illa) en cas de contrats d'échange a été diversement définie par les grandes écoles de Fiqh. Cette différence se reflète dans le raisonnement analogue pour les monnaies de papier appartenant à différents pays. Une question d'une importance considérable dans le processus de raisonnement analogue concerne la comparaison entre les monnaies de papier avec l'or et l'argent. Au début de l'Islam, l'or et l'argent remplissaient toutes les fonctions de l'argent (thaman). Les monnaies étaient faites d'or et d'argent avec une valeur intrinsèque connue (quantum d'or ou d'argent contenu dans eux). Ces monnaies sont décrites comme thaman haqiqi, ou naqdain dans la littérature Fiqh. Celles-ci étaient universellement acceptables comme principal moyen d'échange, ce qui représentait une grande partie des transactions. De nombreux autres produits, tels que divers métaux inférieurs, ont également servi de moyens d'échange, mais avec une acceptabilité limitée. Ceux-ci sont décrits comme fals dans la littérature Fiqh. Ceux-ci sont également connus sous le nom de thaman istalahi en raison du fait que leur acceptabilité découle non de leur valeur intrinsèque, mais en raison du statut accordé par la société pendant une période particulière de temps. Les deux formes de monnaies susmentionnées ont été traitées très différemment par les premiers juristes islamiques du point de vue de la licéité des contrats qui les concernent. La question qui doit être résolue est de savoir si les monnaies de papier de l'époque actuelle relèvent de la première catégorie ou de la seconde. Selon une opinion, ces derniers devraient être traités au pair avec le thaman haqiqi ou l'or et l'argent, puisqu'ils servent de principal moyen d'échange et d'unité de compte comme celui-ci. Par conséquent, par un raisonnement analogue, toutes les normes et injonctions relatives à la charia applicables à thaman haqiqi devraient également s'appliquer au papier-monnaie. L'échange de thaman haqiqi est connu sous le nom de bai-sarf et, par conséquent, les transactions en monnaies de papier devraient être régies par les règles de la charia pertinentes pour bai-sarf. La position contraire prétend que les monnaies de papier doivent être traitées de la même manière que false ou thaman istalahi, du fait que leur valeur nominale est différente de leur valeur intrinsèque. Leur acceptabilité découle de leur statut juridique au sein du pays national ou de l'importance économique mondiale (comme dans le cas des dollars américains, par exemple). 2.1. Synthèse de vues alternatives 2.1.1. La prohibition de riba est basée sur la tradition selon laquelle le saint prophète (paix soit sur lui) a dit: Vendez de l'or pour l'or, de l'argent pour l'argent, du blé pour le blé, de l'orge pour l'orge, de la date pour la date, Sel pour le sel, dans les mêmes quantités sur place et quand les produits sont différents, vendez comme il vous convient, mais sur place. Ainsi, l'interdiction de riba s'applique principalement aux deux métaux précieux (or et argent) et à quatre autres produits (blé, orge, dattes et sel). Elle s'applique également, par analogie (qiyas) à toutes les espèces qui sont gouvernées par la même cause efficace (illa) ou qui appartiennent à l'un quelconque des genres des six objets cités dans la tradition. Cependant, il n'y a pas d'accord général entre les différentes écoles de Fiqh et même les universitaires appartenant à la même école sur la définition et l'identification de la cause efficace (illa) de riba. Pour les Hanafis, la cause efficace (illa) de riba a deux dimensions: les articles échangés appartiennent au même genre (jins), ceux-ci possèdent le poids (wazan) ou la mesurabilité (kiliyya). Si dans un échange donné, les deux éléments de la cause efficace (illa) sont présents, c'est-à-dire que les contre-valeurs échangées appartiennent au même genre (jins) et sont toutes pondérables ou toutes mesurables, alors aucun gain n'est admissible (le taux de change doit Être égal à l'unité) et l'échange doit être sur une base ponctuelle. Dans le cas de l'or et de l'argent, les deux éléments de la cause efficace (illa) sont: l'unité du genre (jins) et la pesabilité. C'est aussi la vue de Hanbali selon une version3. Ainsi, lorsque l'or est échangé contre de l'or, ou que l'argent est échangé contre de l'argent, seules les transactions au comptant sans gain sont permises. Il est également possible que, dans un échange donné, l'un des deux éléments de la cause efficace (illa) soit présent et l'autre absent. Par exemple, si les articles échangés sont tous pondérables ou mesurables, mais appartiennent à des genres différents (jins) ou, si les articles échangés appartiennent au même genre (jins) mais aucun n'est mesurable ni pesable, alors échangez avec gain (à un taux différent de Unité) est permise, mais l'échange doit être sur une base ponctuelle. Ainsi, lorsque l'or est échangé contre de l'argent, le taux peut être différent de l'unité, mais aucun règlement différé n'est autorisé. Si aucun des deux éléments de cause efficace (illa) de riba ne sont présents dans un échange donné, alors aucune des injonctions pour l'interdiction riba ne s'applique. L'échange peut avoir lieu avec ou sans gain et à la fois sur une base ponctuelle ou différée. Considérant le cas de l'échange impliquant des monnaies de papier appartenant à des pays différents, l'interdiction de riba exigerait une recherche pour la cause efficace (illa). Les monnaies appartenant à des pays différents sont des entités clairement distinctes qui sont monnaie légale dans des limites géographiques spécifiques avec une valeur intrinsèque différente ou un pouvoir d'achat. Par conséquent, une grande majorité d'érudits affirment à juste titre qu'il n'y a pas d'unité de genre (jins). En outre, ils ne sont ni pesables ni mesurables. Ceci conduit à la conclusion directe qu'aucun des deux éléments de la cause efficace (illa) de riba n'existe dans un tel échange. Ainsi, l'échange peut se faire librement de toute injonction concernant le taux de change et le mode de règlement. La logique sous-jacente à cette position n'est pas difficile à comprendre. La valeur intrinsèque des monnaies de papier appartenant à des pays différents diffèrent, car elles ont un pouvoir d'achat différent. En outre, la valeur intrinsèque ou la valeur des monnaies de papier ne peut être identifié ou évalué à la différence de l'or et l'argent qui peut être pesé. Par conséquent, ni la présence de riba al-fadl (par excès), ni riba al-nasia (par report) peuvent être établies. L'école Shafii de Fiqh considère la cause efficiente (illa) dans le cas de l'or et l'argent pour être leur propriété d'être monnaie (thamaniyya) ou le moyen d'échange, unité de compte et de stockage de valeur. C'est aussi la vue de Maliki. Selon une version de ce point de vue, même si le papier ou le cuir est fait le moyen d'échange et est donné le statut de monnaie, alors toutes les règles concernant le naqdain, ou l'or et l'argent s'appliquent à eux. Ainsi, selon cette version, l'échange impliquant des devises de différents pays à un taux différent de l'unité est admissible, mais doit être réglé sur une base spot. Une autre version des deux écoles de pensée ci-dessus est que la cause efficiente ci-dessus (illa) de la monnaie (thamaniyya) est spécifique à l'or et l'argent, et ne peut pas être généralisée. Autrement dit, tout autre objet, s'il est utilisé comme moyen d'échange, ne peut être inclus dans sa catégorie. Par conséquent, selon cette version, les injonctions de la charia pour l'interdiction riba ne sont pas applicables aux monnaies de papier. Les devises appartenant à différents pays peuvent être échangées avec ou sans gain et à la fois sur une base spot ou différée. Les partisans de la version antérieure citent le cas de l'échange de monnaies de papier appartenant au même pays en défense de leur version. L'opinion consensuelle des juristes dans ce cas est que cet échange doit être sans gain ou à un taux égal à l'unité et doit être réglé sur une base spot. Si l'on considère l'Hanafi et la première version de la position Hanbali, alors, dans ce cas, seule une dimension de la cause efficace (illa) est présente, c'est-à-dire qu'elle appartient au même genre (jins ). Mais les monnaies de papier ne sont ni pesables ni mesurables. Par conséquent, la loi Hanafi permettrait apparemment d'échanger des quantités différentes de la même monnaie sur une base ponctuelle. De même, si la cause efficace de la monnaie (thamaniyya) est spécifique à l'or et à l'argent, la loi Shafii et Maliki le permettrait également. Inutile de dire que cela équivaut à permettre des emprunts et des prêts à base d'riba. Cela montre que c'est la première version de la pensée Shafii et Maliki qui sous-tend la décision consensuelle d'interdiction de gain et de règlement différé en cas d'échange de devises appartenant au même pays. Selon les promoteurs, étendre cette logique à l'échange de devises de différents pays impliquerait que l'échange avec gain ou à un taux différent de l'unité est permis (puisqu'il n'y a pas d'unité de jins), mais le règlement doit être sur une base ponctuelle. 2.1.2 Comparaison entre change et Bai-Sarf Bai-sarf est défini dans la littérature Fiqh comme un échange impliquant thaman haqiqi, défini comme l'or et l'argent, qui a servi de principal moyen d'échange pour presque toutes les transactions majeures. Les partisans de l'idée que tout échange de devises de différents pays est le même que le bai-sarf soutiennent que, à l'époque actuelle, les monnaies de papier ont efficacement et complètement remplacé l'or et l'argent comme moyen d'échange. Par conséquent, par analogie, l'échange impliquant de telles monnaies devrait être régi par les mêmes règles et injonctions de la charia que bai-sarf. Il est également soutenu que si un règlement différé par les parties au contrat est permis, cela ouvrirait les possibilités de riba-al nasia. Les adversaires de la catégorisation des échanges de devises avec bai-sarf soulignent cependant que l'échange de toutes les formes de monnaie (thaman) ne peut pas être qualifié de bai-sarf. Selon ce point de vue, le bai-sarf implique l'échange de monnaies d'or et d'argent (thaman haqiqi ou naqdain) et non pas de monnaie prononcée comme telle par les autorités étatiques (thaman istalahi). Les monnaies actuelles sont des exemples de ce genre. Ces érudits trouvent appui dans ces écrits qui affirment que si les marchandises d'échange ne sont pas de l'or ou de l'argent (même si l'un d'eux est de l'or ou de l'argent) alors, l'échange ne peut pas être qualifié de bai-sarf. Les dispositions concernant le bai-sarf ne seraient pas non plus applicables à ces échanges. Selon l'imam Sarakhsi4, lorsqu'un particulier achète des faux ou des pièces faites de métaux inférieurs, tels que le cuivre (thaman istalahi) pour les dirhams (thaman haqiqi) et en effectue un paiement au comptant, mais le vendeur n'a pas de faux à ce moment , Un tel échange est autorisé. La possession de marchandises échangées par les deux parties n'est pas une condition préalable (alors que dans le cas de bai-sarf, il est.) Il existe un certain nombre de références similaires qui indiquent que les juristes ne classent pas un échange de faux (thaman istalahi) Thaman istalahi) ou d'or ou d'argent (thaman haqiqi), comme bai-sarf. Par conséquent, les échanges de devises de deux pays différents qui ne peuvent être qualifiés que de thaman istalahi ne peuvent être classés en bai-sarf. La contrainte concernant le règlement au comptant ne peut pas non plus être imposée à de telles transactions. Il convient de noter ici que la définition de bai-sarf est fournie littérature Fiqh et il n'y a aucune mention de la même dans les traditions saintes. Les traditions mentionnent l'riba, et la vente et l'achat de l'or et de l'argent (naqdain), qui peut être une source majeure d'riba, est décrit comme bai-sarf par les juristes islamiques. Il convient également de noter que dans la littérature Fiqh, bai-sarf implique l'échange d'or ou d'argent que si elles sont actuellement utilisées comme moyen d'échange ou non. Échange impliquant des dinars et des ornements d'or, à la fois qualité comme bai-sarf. Différents juristes ont cherché à clarifier ce point et ont défini comme l'échange dans lequel les marchandises échangées sont de la nature du thaman, pas nécessairement thaman eux-mêmes. Par conséquent, même lorsqu'une des marchandises est traitée or (disons, ornements), un tel échange est appelé bai-sarf. Les partisans de l'opinion selon laquelle l'échange de devises devraient être traités d'une manière similaire au bai-sarf tirent également leur appui des écrits d'éminents juristes islamiques. Selon Imam Ibn Taimiya, tout ce qui remplit les fonctions de moyen d'échange, d'unité de compte et de réserve de valeur est appelé thaman, (pas nécessairement limité à l'or et à l'argent). Des références similaires sont disponibles dans les écrits de l'imam Ghazzali5. Pour ce qui est des points de vue de l'imam Sarakhshi concernant les échanges impliquant des faux, selon eux, quelques points supplémentaires doivent être pris en compte. Dans les premiers jours de l'Islam, les dinars et dirhams faits d'or et d'argent ont été principalement utilisés comme moyen d'échange dans toutes les transactions majeures. Seuls les mineurs ont été réglés avec fals. En d'autres termes, fals ne possédait pas les caractéristiques de l'argent ou thamaniyya dans son intégralité et a été à peine utilisé comme stock de valeur ou unité de compte et était plus dans la nature de la marchandise. Il n'y avait donc aucune restriction à l'achat de l'or et de l'argent sur une base différée. Les monnaies actuelles ont toutes les caractéristiques de thaman et sont censées être thaman seulement. L'échange impliquant des devises de différents pays est le même que bai-sarf avec la différence de jins et donc, règlement différé conduirait à riba al-nasia. Le Dr Mohamed Nejatullah Siddiqui illustre cette possibilité par un exemple6. Il écrit Dans un moment donné où le taux de change du marché entre le dollar et la roupie est de 1:20, si un individu achète 50 au taux de 1:22 (règlement de son obligation en roupies reportées à une date future), alors Il est très probable qu'il est. En fait, emprunter Rs. 1000 maintenant à la place d'une promesse de rembourser Rs. 1100 à une date ultérieure spécifiée. (Depuis, il peut obtenir Rs 1000 maintenant, l'échange de la 50 achetés sur le crédit au taux au comptant) Ainsi, sarf peut être converti en emprunt d'emprunt à base d'intérêts. 2.1.3 Définition de Thamaniyya est la clé Il ressort de la synthèse ci-dessus des vues alternatives que la question clé semble être une définition correcte de thamaniyya. Par exemple, une question fondamentale qui mène à des positions divergentes sur la permissibilité concerne si thamaniyya est spécifique à l'or et à l'argent, ou peut être associé à tout ce qui remplit les fonctions de l'argent. Nous soulevons quelques questions ci-dessous qui peuvent être prises en compte dans tout exercice de réexamen de positions alternatives. Il convient de noter que thamaniyya peut ne pas être absolue et peut varier en degrés. Il est vrai que les monnaies de papier ont complètement remplacé l'or et l'argent comme moyen d'échange, unité de compte et stock de valeur. En ce sens, on peut dire que les monnaies de papier possèdent thamaniyya. Cependant, cela est vrai pour les monnaies nationales seulement et peut ne pas être vrai pour les devises étrangères. En d'autres termes, roupies indiennes possèdent thamaniyya dans les limites géographiques de l'Inde seulement, et n'ont pas d'acceptabilité aux États-Unis. On ne peut pas dire qu'ils possèdent thamaniyya aux États-Unis, à moins qu'un citoyen américain ne puisse utiliser les roupies indiennes comme moyen d'échange, ou unité de compte, ou magasin de valeur. Dans la plupart des cas, une telle possibilité est éloignée. Cette possibilité est également fonction du mécanisme de taux de change en place, comme la convertibilité des roupies indiennes en dollars américains et la mise en place d'un système de taux de change fixe ou variable. Par exemple, en supposant la convertibilité libre des roupies indiennes en dollars américains et vice versa et un système de taux de change fixe dans lequel le taux de change roupie-dollar ne devrait pas augmenter ou diminuer dans un avenir prévisible, le thamaniya de la roupie aux États - . L'exemple cité par le Dr Nejatullah Siddiqui apparaît également assez robuste dans les circonstances. L'autorisation d'échanger des roupies en dollars sur une base différée (d'une extrémité, bien sûr) à un taux différent du taux au comptant (taux officiel qui est susceptible de rester fixe jusqu'à la date du règlement) serait un cas clair de taux d'intérêt Emprunts et prêts. Cependant, si l'hypothèse du taux de change fixe est relâchée et si le système actuel des taux de change fluctuants et volatils est supposé être le cas, on peut alors montrer que le cas de riba al-nasia se décompose. Nous réécrivons son exemple: Dans un moment donné où le taux d'échange du marché entre le dollar et la roupie est de 1:20, si un individu achète 50 au taux de 1:22 (le règlement de son obligation en roupies reportées à une date ultérieure ), Alors il est hautement probable qu'il est. En fait, emprunter Rs. 1000 maintenant à la place d'une promesse de rembourser Rs. 1100 à une date ultérieure spécifiée. (Depuis, il peut obtenir Rs 1000 maintenant, l'échange des 50 achetés sur le crédit au taux au comptant) Cela serait ainsi, seulement si le risque de change est inexistant (le taux de change reste à 1:20), ou est supporté par le vendeur De dollars (l'acheteur paie en roupies et non en dollars). Si le premier est vrai, alors le vendeur du dollar (prêteur) reçoit un rendement prédéterminé de dix pour cent lorsqu'il convertit Rs1100 reçus à la date d'échéance en 55 (à un taux de change de 1:20). Cependant, si ce dernier est vrai, alors le retour au vendeur (ou au prêteur) n'est pas prédéterminé. Il n'a même pas besoin d'être positif. Par exemple, si le taux de change roupie-dollar augmente à 1:25, alors le vendeur de dollar recevrait seulement 44 (Rs 1100 converti en dollars) pour son investissement de 50. Ici, deux points méritent d'être notés. Tout d'abord, lorsque l'on suppose un régime de taux de change fixe, la distinction entre les monnaies des différents pays se dilue. La situation devient similaire à l'échange de livres sterling (monnaies appartenant au même pays) à un taux fixe. Deuxièmement, lorsque l'on suppose un système de taux de change volatil, on peut aussi visualiser les prêts par n'importe quel autre marché organisé (par exemple, pour les matières premières ou les stocks), comme on peut visualiser les prêts sur le marché des devises (mécanisme suggéré dans l'exemple ci-dessus) .) Si l'on remplace les dollars pour les actions dans l'exemple ci-dessus, il se lirait comme suit: Dans un moment donné où le cours du stock X est de Rs 20, si une personne achète 50 actions au rs 22 (règlement de Son obligation en roupies différée à une date ultérieure), alors il est très probable qu'il est. En fait, emprunter Rs. 1000 maintenant à la place d'une promesse de rembourser Rs. 1100 à une date ultérieure spécifiée. (Depuis, il peut obtenir Rs 1000 maintenant, l'échange des 50 stocks achetés sur le crédit au prix actuel) Dans ce cas aussi comme dans l'exemple précédent, les retours au vendeur des stocks peuvent être négatifs si le prix des actions s'élève à Rs 25 sur le règlement rendez-vous amoureux. Ainsi, de même que les rendements sur le marché boursier ou le marché des matières premières sont islamiquement acceptables en raison du risque de prix, il en est de même des rendements sur le marché des devises en raison des fluctuations des prix des devises. Une caractéristique unique de thaman haqiqi ou or et argent est que la valeur intrinsèque de la monnaie est égal à sa valeur nominale. Ainsi, la question des différentes limites géographiques à l'intérieur desquelles circule une monnaie donnée, comme le dinar ou le dirhams, est totalement sans pertinence. L'or est or, que ce soit dans le pays A ou dans le pays B. Ainsi, lorsque la monnaie du pays A en or est échangée contre la monnaie du pays B, également en or, tout écart du taux de change par unité ou report de règlement par l'une ou l'autre des parties Ne peut être autorisé car il impliquerait clairement riba al-fadl et aussi riba al-nasia. Toutefois, lorsque les monnaies de papier du pays A sont échangées contre le papier-monnaie du pays B, le cas peut être entièrement différent. Le risque de prix (risque de change), s'il est positif, éliminerait toute possibilité de riba al-nasia dans l'échange avec règlement différé. Toutefois, si le risque de prix (risque de change) est nul, un tel échange pourrait être une source de riba al-nasia si le règlement différé est autorisé7. Un autre point qui mérite une considération sérieuse est la possibilité que certaines monnaies puissent posséder thamaniyya, c'est-à-dire utilisé comme moyen d'échange, unité de compte ou stock de valeur à l'échelle mondiale, tant dans les pays intérieurs que dans les pays étrangers. Par exemple, le dollar américain est légal au sein des États-Unis, il est également acceptable comme moyen d'échange ou unité de compte pour un grand volume de transactions à travers le monde. Ainsi, on peut dire que cette monnaie spécifique possède thamaniyya globalement, auquel cas, les juristes peuvent imposer les injonctions pertinentes sur les échanges impliquant cette devise spécifique pour empêcher riba al-nasia. Le fait est que lorsqu'une monnaie possède thamaniyya dans le monde entier, les unités économiques qui utilisent cette monnaie mondiale comme moyen d'échange, unité de compte ou magasin de valeur peuvent ne pas se préoccuper du risque lié à la volatilité des taux de change inter-pays. En même temps, il convient de reconnaître qu'une grande majorité des monnaies ne remplissent pas les fonctions de monnaie, sauf à l'intérieur de leurs frontières nationales lorsque celles-ci ont cours légal. Riba et le risque ne peut coexister dans le même contrat. Le premier connote une possibilité de rendements avec risque nul et ne peut être gagné par un marché avec un risque de prix positif. Comme il a été discuté ci-dessus, la possibilité de riba al-fadl ou riba al-nasia peut se produire en échange lorsque l'or ou l'argent fonctionnent comme thaman ou lorsque l'échange concerne des monnaies de papier appartenant au même pays ou lorsque l'échange implique des devises de différents pays Suivant un système de taux de change fixe. La dernière possibilité est peut-être illégale8, puisque le cours des devises devrait pouvoir fluctuer librement en fonction de l'évolution de la demande et de l'offre et aussi parce que les prix devraient refléter la valeur intrinsèque ou le pouvoir d'achat des devises. Les marchés des devises d'aujourd'hui sont caractérisés par des taux de change volatiles. Les gains ou les pertes réalisés sur toute transaction en devises de différents pays sont justifiés par le risque supporté par les parties au contrat. 2.1.4. Possibilité de Riba avec Futures et Forwards Jusqu'à présent, nous avons discuté de points de vue sur la permissibilité de bai salam en devises, c'est-à-dire lorsque l'obligation d'une seule des parties à l'échange est reportée. Quelles sont les opinions des universitaires sur le report des obligations des deux parties. Un exemple typique de tels contrats sont les contrats à terme et les contrats à terme9. Selon une grande majorité de chercheurs, cela n'est pas permis pour des raisons diverses, le plus important étant l'élément de risque et d'incertitude (gharar) et la possibilité de spéculation d'une nature non permise. Cela est discuté à la section 3. Cependant, un autre motif de rejet de tels contrats peut être riba interdiction. Dans le paragraphe précédent nous avons discuté que bai salam dans des devises avec des taux de change fluctuants ne peut pas être utilisé pour gagner riba en raison de la présence de risque de change. Il est possible de démontrer que le risque de change peut être couvert ou réduit à zéro avec un autre contrat à terme négocié simultanément. Et une fois que le risque est éliminé, le gain serait clairement riba. Nous modifions et réécrivons le même exemple: À un moment donné où le taux de change du marché entre le dollar et la roupie est de 1:20, un individu achète 50 au taux de 1:22 (le règlement de son obligation en roupies est reporté à un Date ultérieure), et le vendeur de dollars couvre également sa position en concluant un contrat à terme pour vendre Rs1100 à recevoir à la date future à un taux de 1:20, il est très probable qu'il est. En fait, emprunter Rs. 1000 maintenant à la place d'une promesse de rembourser Rs. 1100 à une date ultérieure spécifiée. Le vendeur des dollars (prêteur) reçoit un rendement prédéterminé de dix pour cent quand il convertit Rs1100 reçus à la date d'échéance en 55 dollars (à la date, il peut obtenir Rs 1000 maintenant, l'échange des 50 dollars achetés sur le crédit au taux au comptant) Un taux de change de 1:20) pour son investissement de 50 dollars, quel que soit le taux de change du marché en vigueur à la date d'échéance. Une autre façon simple de gagner riba peut même impliquer une transaction au comptant et une transaction simultanée à terme. Par exemple, l'individu dans l'exemple ci-dessus achète 50 sur une base au comptant au taux de 1:20 et conclut simultanément un contrat à terme avec la même partie pour vendre 50 au taux de 1:21 après un mois. En effet, cela implique qu'il prête maintenant Rs1000 au vendeur de dollars pour un mois et gagne un intérêt de Rs50 (il reçoit Rs1050 après un mois. Il s'agit d'une opération typique de rachat ou de pension (rachat) si commun dans les banques conventionnelles Il est utile de considérer le gharar comme un continuum de risque et d'incertitude dans lequel le point extrême de la notion de Gharar Gharar n'est pas une définition du consensus. zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11 . Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc . are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Ferex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar négar terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu négar dengan negara lainnya ini berubah (berluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itou diperbolehkan dalam agama. 8220Jangan kamu membeli ikan dalam l'air, karena sesungguhnya jual beli yang démikien itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas8217ud) Jual beli barang yang tidak de tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudien jika barang sesuai dengan keterangan pénjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar . artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurayra: 8220Barang Siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak Khiyar jika ia Telah melihatnya8221. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semu hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum L'islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, GPL, dan sebagainya, asalkam diberi étiquette yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum L'islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al-Ashbah al-Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valutant adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, sterling inggris, ringgit Malaisie dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap négara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonésie akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonésie memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbill punk dan perminataan di bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (les kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) Like this:Fatwa MUI Forex Halal atau Haram Dalam islam IDRForex Pembahasan kali ini mencakup tentang apakah forex halal atau haram, Apakah forex sama dengan judi, dan bagaimana hukum forex dalam Islam. Forex adalah salah satu bisnis yang dapat dilakukan secara online. Karena bisnis ini berfisat fleksibel, artinya dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun, tidak heran apabila semakin banyak orang tertarik untuk menggeluti bisnis perdagangan valas ini. Namun, disisi lain Commerce Forex menimbulkan polemik baru. Hingga saat ini masih banyak perdebatan apakah forex halal atau haram. Mungkin anda saat ini jeu de rôle juga sedang mencari tahu kebenaran tentang halal atau haram nya Forex dari kedua perbedaan pendapat tersebut. Trading Forex halal atau haram Dalam kesempatan ini, akan menyajikan penjelasan secara rinci tentang hukum Trading Forex dalam berbagai sudut pandang. Sehingga setelah anda membaca artikel ini, anda akan mendapatkan gambaran jelas dari berbagai sumber dan anda dapat menyimpulkan sendiri nantinya. Apakah Forex sama dengan judi Tidak sedikit orang beranggapan bahwa Forex sama dengan judi. Hal ini mungkin dikarenakan orang orang tersebut berpandangan bahwa dalam bisnis forex bisa mengakibatkan kérougien besar dalam waktu singkat. Selain itu, orang orang awam dalam dunia Forex juga berfikir bahwa bekerja de Forex cukup dengan doute duduk dan mendapatkan uang. Benarkah Forex sama dengan judi TIDAK . Forex bukanlah judi, akan tetapi Forex murni perdagangan, yaitu perdagangan mata Uang. Dans le dictionnaire anglais français, vous pouvez utiliser le dictionnaire anglais. Judi bersifat untungan untungan, sedangkan Forex tidak. Karena dalam Trading Forex dapat dilakukan analisa, yaitu analisa secara teknikal dan fundamental. Judi bersifat merugikan lawan, sedangkan dalam Forex bersifat gagner gagner solution, bersifat saling menguntungkan. Dalam judi tidak ada Produk yang diperdagangkan, sedangkan Forex produknya jelas, yaitu mata uang yang diperjual belikan. Hasil dari judi tidak bisa di prediksikan, sedangkan dalam Forex terdapat Gestion de l'argent yang jelas, sehingga batas kerugian dan keuntungan dapat di kontrol dengan baik. Judi bersifat tidak pasti, sedangkan dalam Forex bisa dipastikan 100 apabila harga sudah terlalu tinggi maka harga akan turoune, begitu juga sebaliknya ketika harga soudah terlalu murah. Judi dilarang keras olé Negara, sedangkan forex diperbolehkan oleh Negara. Dengan melihat keenam alasan diatas, saya yakin et un sudah dapat menyimpulkan apakah forex itu sama dengan judais atau tidak. Hukum Halal Haram commerçant Forex Menurut Islam Perspektif Islam dalam menentukan pérhal halal dan haram sangatlah luas. Tidak hanya dalam dunia trading, akan tetapi dalam hal apapun harus sangat jelas perkaranya. Sesuatu pada dasarnya halal akan menjadi haram apabila dilakukan dengan cara tidak benar atau tidak sesuai dengan syariat Islam. Berdagang itu diperbolehkan dalam Islam, akan tetapi berdagang minuman keras haram hukumnya. Itulah yang disebut dengan perspektif. Tergantung dari sudut mana kita memandang halal haramnya. Dalam sebuah buku berjudul MASAIL FIQHIYAH, dituli oleh seorang ahli fikih bernama Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi, menyatakan bahwa berdagang valas diperbolehkan dalam hukum Islam. Perdagangan Forex atau mata uang asing ada karena kebutuhan pasar global yang secara tidak langsung mencakup semua Negara. Un mot de passe oublié? Negara yang beraneka ragam itulah peran mata uang menjadi faktor yang paling utama. Berikut ini adalah sumber yang dapat digunakan sebagai acuan dalam polemik Forex saat ini tengah ramai diperbincangkan Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Masud) Dalam aturan jual beli, penjual harus memberitahukan dan menerangkan kepada pembeli secara rinci keadaan barang yang dijual. Penjual harus menjelaskan ciri dan sifat sifatnya. Dalam Forex, le jargon de punk de yang de produck et le chant de sangat jelas, baik sifat dan nilainya. Sehingga, setiap kali melakukan transaksinya, Forex harus dengan kesepakatan kedoua belah pihak. . Dan Allah tahj menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Forex adalah murni jual beli dan tidak termasuk riba. Forex adalah memperdagangkan mata uang, Berbeda sekali apabila kita meminjamkan uang kepada seseorang dengan mengharapkan kembalian lebih. Dan sangat jelas bahwasannya perdagangan memang diperbolehkan. Sesungguhnya jual beli, itu hanya boleh, dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). Dalam forex tidak akan terjadi transaksi apabila penjual dan pembeli tidak melakukan kesepakatan (kerelaan). Jadi dalam prakteknya, tidak ada unsur pemaksaan atau et penipuan yang bersifat saling merugikan. Fatwa MUI tentang Halal dan Haram nya Trader Forex Majelis Ulama Indonésie (MUI), selaku panutan dalam mengambil sebuah keputusan berdasarkan syariah Islam pun mengeluarkan fatwa tentang halal dan haram nya Trading Forex. MUI menyatakan bahwa commerce forex dengan transaksi SPOT diperbolehkan. Adapun jenis transaksi yang tidak diperbolehkan yaitu transaksi échange, option, dan avant. Transaksi Spot dikategorikan halal karena penyelesaian transaksinya diselesaikan pada saat itu juga. Adapun penyelesaian paling lambat adalah 2 hari. Berikut ini adalah jenis Jenis perdagangan valas Transaksi SPOT . adalah transaksi jual beli Valas yang penyerahannya dilakukan pada saat itu juga. Apabila ada keterlambatan, harus tidak boleh lebih dari jangka waktu dua hari. Transaksi SWAP . adalah suatu kontrak jual beli valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Transaksi FORWARD . adalah transaksi jual beli Valas yang ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan pada saat akan datang. Tempo watunya nya antara 224 jam sampai dengan satu tahun. Transaksi OPTION. Adalah, kontrak, untuk, memperoleh, hak, beli, hak, jual, yang, tidak, harus, dilakukan, atas, sejumlah, unité, valas, pada, harga, jangka, waktu, atau, tanggal, akhir, tertentu. Jika kita tarik garis besarnya, Transaksi forex boleh dilakukan asalkan dengan menggunakan lieu transaksi berjenis. Dalam aktifitas apapun sudah diatur hukumnya, apakah dilarang atau diperbolehkan. Untuk perkara Forex apakah halal atau haram itu semua tergantung dari bagaiman dan cara tipe transaksi dilakukan. Semoga pembahasan ini dapat membreikan gambaran jelas kepada anda mengenai Apakah Forex itu halal atau haram. Jadi sehingga anda akan dapat menarik kesimpulan sendiri.


No comments:

Post a Comment